Beberapa kali aku membolak balikkan tubuhku diatas kasur sambil
memejamkan mata, tapi percuma. Masih saja tak kukenal kantuk sedikitpun. Jam
digital yang terpajang apik diatas meja sudah menunjukkan pukul 03:45. Aku
tahu, Senja yang telah menyita rasa kantukku. Benarkah? secepat itu? ini bisa
saja terjadi. Senja? Ya, gadis yang baru kuajak kenalan di perpustakaan tadi
siang. Gadis yang sebelumnya ku sebut anak sastra indonesia. Bagaimana tidak,
sejak pertama kali aku melihat gadis itu, jelas-jelas ia sedang membaca
buku-buku sastra. Ternyata aku salah, Senja adalah mahasiswi psikologi semester
2. Tapi mengapa ia membaca buku tentang sastra? Penelusuranku belum sampai
sana.
“Malik..Malik. Apa hanya dengan jabatan tangan Senja kau lantas begitu
saja melupakan Dira?”
“Hahh, untuk apa kau memikirkan Dira yang jelas-jelas sudah tak
mencintaimu lagi? Dia sudah putuskan meninggalkanmu sejak 2 tahun lalu, kan?
Itu cinta SMA! Sudahlah.”
Hatiku terus berontak dengan pikiranku yang melulu mengarah pada gadis
itu. Tapi benar juga, Dira bahkan sudah 2 kali ganti pacar. Tentu saja dia
sudah move on. Untuk apa aku
memperjuangkannya lagi.
***
“Hai Senja!”
Ia hanya menjawab sapaanku dengan senyuman.
Kedua adegan itu membuatku semakin penasaran dengan sosok Senja. Aku
memancing obrolan berkualitas dengannya. Saat itu aku tahu alasan mengapa ia
sering menunggu di perpustakaan. Katanya dari awal ia ingin menekuni sastra,
namun ayahnya sangat ngin Senja menjadi dokter. Tapi berhubung saat SMA ia
mengambil jurusan IPS, jadi psikologi menjadi jalan keluar terbaik baginya
untuk menebus janji pada ayahnya. Aku kagum dengan gadis ini dan kekaguman itu
perlahan-lahan menjalin rasa kasih, sayang, bahkan mungkin cintaku untuknya.
Tapi dia― entahlah, mungkin ia wanita yang sedikit berambisi kuat untuk
keinginannya. Aku hanya dapat menyimpulkan ia wanita yang kuat. Apalagi dalam
hal perjuangan untuk dirinya sendiri.
Sejak itu, aku sering mengobrol dengannya. Senja sangat nyaman diajak
bicara. Kadang aku melempar candaan padanya. Ia cukup humoris, tak terlalu jaim
juga.
Tadi aku sempat menyelipkan selembar kertas dibuku yang baru beberapa
lembar ia baca. Aku menulis pesan:
Senja…
Terima kasih telah
berhasil membawaku pada malam-malam insomnia
Jangan tanya
alasannya,
Sejak jabatan
tangan yang terjadi diantara kita, rindu mulai menyergap masuk kedalam relung
jiwa kosongku selama ini
Semudah itukah?
Tentu saja itu bisa terjadi, Senjaku
Aku bukan tipe
orang yang mudah jatuh cinta, tapi tidak pada kamu
Aku
sangat mudah untuk mulai mencintaimu
Bagiku, mencintai
tanpa jatuh cinta adalah omong kosong
Tapi setiap aku
jatuh cinta, mencintai bukan hal yang sulit kulakukan
Senja,
Aku sudah mencintaimu
Tak masalah kan,
jika aku minta untuk dicintai juga?
Olehmu..
Besok, 14.00 di perpustakaan
***
Aku datang lebih cepat ke perpustakaan. Biarlah aku yang menunggunya.
Aku bukan pria yang suka membuat wanita menunggu, jadi biarlah aku saja yang
melakukannya. Rela berkorban.
Hari ini tepat satu minggu setelah perkenalan kami. Bahkan aku belum
sempat follow twitternya, meminta nomor ponselnya, pin blackberrynya.
Komunikasiku dengan Senja hanya lewat gedung buku ini. Sudah pukul 15:45, Senja
tak kunjung menampakkan diri. Mungkin ini jawaban tersirat darinya bahwa ia tak
mau memenuhi permintaanku. Aku keluar dengan wajah lesu. Tiba tiba librarian memanggil dan memberiku secari
kertas. Katanya itu titipan Senja.
Aku membuka lipatan kertas itu.
Perumahan kompleks
Asri Jaya, Blok C. Jalan Diponegoro No 24. Jam 17.30
“Apa maksudnya? Rumah siapa ini? Apa mungkin rumah Senja?”
Berbagai pertanyaan menyerbu benakku. Tanpa pikir panjang aku menuju
kesana. Benar saja, aku menemukan sebuah rumah dengan cat merah bata disana.
“Apakah ini rumah senja?” lagi-lagi pertanyaan itu menyeruak di kepalaku. Aku melirik
arloji yang melekat di pergelangan tangan kiriku. Sudah hampir 17.30.
Tok..tok..tok..
“Permisi…” ujarku.
Seseorang membuka pintu . Seorang wanita seumuran mamaku wajahnya
tirus, sama seperti wajah Senja. Aku
semakin yakin bahwa ini benar-benar rumah Senja.
“Ada apa ya?” Tanyanya.
“Saya Malik, tante. Temannya Senja.”
“Silahkan masuk nak Malik. Saya panggilkan Senjanya.”
Tak lama kemudian Senja menghampiriku di ruang tamu. Sambil membawa
secangkir teh.
“Kamu datang lebih awal dari yang kuminta.” Katanya sambil meletakkan
cangkir tersebut di meja. Lalu duduk disampingku. Ia terlihat lebih anggun dari biasanya. Dengan
balutan dress berwarna merah muda lembut serta rambut yang terurai. Aku makin
menyukainya.
Aku mendadak speechless. Jantungku berdegup sangat
kencang. Mungkin Senja mendengar degupan itu. Senja meminta maaf tak bisa
menemuiku di perpustakaan karena tadi ia sedang ada kuliah. Tentu saja aku memaafkanmu, Senja. Mendengarnya meminta maaf saja
rasanya senang sekali.
Aku mulai membahas tentang tujuanku kesini.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” tanyaku sambil memutar badan
menghadapnya.
Senja tak menjawab. Ia terlihat sedikit gugup. Lalu mengangguk pelan.
“Bagaimana dengan suratku kemarin?” tanyaku lagi.
“Em… sebelum aku menjawabnya, aku ingin kau mengulanginya sekali lagi,
Malik.”
Aku merasa lidahku mendadak kelu. Namun sebisa mungkin akan kupenuhi permintaannya. Kenapa tidak? Aku mencintainya. Aku menggenggam kedua tangannya, kutatap matanya “Aku mencintaimu, maukah kau
mencintaiku?” Simpel sekali kata-kataku. Aku berharap sekali Senja menjawab dengan jawaban yang kumau.
Ia tersenyum, “Bagaimana mungkin aku tidak mencintai orang yang sudah
dengan ikhlas mencintaiku. Aku juga mencintaimu, Malik.”
Aku memeluknya, ia juga lakukan hal yang sama padaku.
Pelukan kami merenggang. Aku membenarkan posisi dudukku, Senja
menempelkan kepalanya di bahuku. Kujelaskan alasan yang membuatku jatuh cinta padanya.
Jujur saja, aku suka dengan cara Senja menjawab cintaku. :)
Comments
Post a Comment