Aku ingin jatuh cinta. Ya. Aku ingin
jatuh cinta pada orang yang sama berkali-kali. Tanpa aku merasa resah, rasa ini
menjadi berkurang dan berangsur menghilang. Memudar seiring waktu, menghilang
tanpa jejak, hangus tak berbekas, tak terasa lagi.
Aku ingin jatuh cinta pada waktu
ketika kau tersenyum. Membuat duniaku berhenti sesaat. Merasakan sesuatu yang
tak terkatakan, dan aku yang menentukan kapan waktu boleh berputar kembali.
Demi terus melihat senyumnya.
Bagiku, cinta itu tak perlu
muluk-muluk. Tak perlu dia membuatkan masakan untukku setiap hari.
Cukuplah sebaris kata, “selamat
pagi” setelah mentari menyapa bumi. Menghangatkan hati yang terkadang beku oleh
sinisnya malam hari. Lebih dari cukup, lukisan senyum dan sapaan, “selamat
siang” , ketika fajar pergi dan berganti riuh manusia-manusia yang terjebak
dunia serta segala keangkuhannya. Ketika senja tiba, kau tak perlu datang
dengan banyak kata, cukup hadirmu saja, itu sudah lebih dari cukup. Aku terlalu
melankolis barangkali, tak apa, biarkan saja. Mungkin ini efek jatuh cinta.
Aku ingin jatuh cinta. Jatuh yang
sebenar-benarnya jatuh. Sakit? Pasti akan sakit. Bagaimana tidak? Ketika aku
memutuskan jatuh cinta padamu, maka akan ada sepaket rasa yang lain yang harus
aku terima. Mau tidak mau, suka tidak suka. Ah, nampak rumit, tapi aku mau.
Ketika aku jatuh cinta padamu, akan
ada sekelumit cemburu di sana. Jadi maafkan aku. Cemburu itu bukan tanda
sayang, menurutku, hanya sebuah perasaan takut kehilangan. Wajar, aku
mencintaimu.
Biarkan aku jatuh cinta. Melebur
kejujuran yang aku cipta seutuhnya untukmu. Tanpa kata-kata yang semu, aku
ingin kau tahu tentangku. Naif memang, untuk berkata-kata, aku mendadak kelu.
Tolong maafkan. Pasti kamu ingat, setiap kita bertemu, kata-kata mendadak
menguap dihening udara. Lucu sekali, miris memang.
“Hai, apa kabar? Sudah makan?”
Klise sekali kata-katamu. Hanya
basa-basikah? Maafkan aku. Aku hanya tak terlalu percaya diri bila di
hadapanmu. Aku kesal pada diriku sendiri. Selalu saja, aku hanya bisa
menganggukkan kepala atau menggelengkan kepala. Bukan, bukan sombong, sungguh.
Di depanmu, aku seolah tenggelam.
Aku ingin jatuh cinta. Seindah
gerimis di sore hari. Menyejukkan. Meneduhkan. Seperti episode sore gerimis
kita, yang terekam tanpa kata, namun bermakna.
Aku ingat sekali, obrolan pertama kita di sore yang gerimis. Di hujan pertama kita. Senyummu seolah menjadi perapian ditengah matirasanya aku.
Katamu, “aku jatuh cinta pada
hujan”.
Aku tersenyum mendengarkanmu.
Beruntung sekali kau, hujan. Kamu jatuh cinta pada hujan, sebab hujan
meneduhkan. Seperti itulah seharusnya cinta. Meneduhkan. Bukan meletup-letup
tanpa jeda, lalu menguap secepat kilat. Tanpa sisa. Ah, kamu ternyata filosofis
juga. Aku bertambah kagum.
Comments
Post a Comment