Skip to main content

Jatuh Cinta


Aku ingin jatuh cinta. Ya. Aku ingin jatuh cinta pada orang yang sama berkali-kali. Tanpa aku merasa resah, rasa ini menjadi berkurang dan berangsur menghilang. Memudar seiring waktu, menghilang tanpa jejak, hangus tak berbekas, tak terasa lagi.

Aku ingin jatuh cinta pada waktu ketika kau tersenyum. Membuat duniaku berhenti sesaat. Merasakan sesuatu yang tak terkatakan, dan aku yang menentukan kapan waktu boleh berputar kembali. Demi terus melihat senyumnya.

Bagiku, cinta itu tak perlu muluk-muluk. Tak perlu dia membuatkan masakan untukku setiap hari.
Cukuplah sebaris kata, “selamat pagi” setelah mentari menyapa bumi. Menghangatkan hati yang terkadang beku oleh sinisnya malam hari. Lebih dari cukup, lukisan senyum dan sapaan, “selamat siang” , ketika fajar pergi dan berganti riuh manusia-manusia yang terjebak dunia serta segala keangkuhannya. Ketika senja tiba, kau tak perlu datang dengan banyak kata, cukup hadirmu saja, itu sudah lebih dari cukup. Aku terlalu melankolis barangkali, tak apa, biarkan saja. Mungkin ini efek jatuh cinta.

Aku ingin jatuh cinta. Jatuh yang sebenar-benarnya jatuh. Sakit? Pasti akan sakit. Bagaimana tidak? Ketika aku memutuskan jatuh cinta padamu, maka akan ada sepaket rasa yang lain yang harus aku terima. Mau tidak mau, suka tidak suka. Ah, nampak rumit, tapi aku mau.
Ketika aku jatuh cinta padamu, akan ada sekelumit cemburu di sana. Jadi maafkan aku. Cemburu itu bukan tanda sayang, menurutku, hanya sebuah perasaan takut kehilangan. Wajar, aku mencintaimu.

Biarkan aku jatuh cinta. Melebur kejujuran yang aku cipta seutuhnya untukmu. Tanpa kata-kata yang semu, aku ingin kau tahu tentangku. Naif memang, untuk berkata-kata, aku mendadak kelu. Tolong maafkan. Pasti kamu ingat, setiap kita bertemu, kata-kata mendadak menguap dihening udara. Lucu sekali, miris memang.

“Hai, apa kabar? Sudah makan?”

Klise sekali kata-katamu. Hanya basa-basikah? Maafkan aku. Aku hanya tak terlalu percaya diri bila di hadapanmu. Aku kesal pada diriku sendiri. Selalu saja, aku hanya bisa menganggukkan kepala atau menggelengkan kepala. Bukan, bukan sombong, sungguh. Di depanmu, aku seolah tenggelam.

Aku ingin jatuh cinta. Seindah gerimis di sore hari. Menyejukkan. Meneduhkan. Seperti episode sore gerimis kita, yang terekam tanpa kata, namun bermakna.

Aku ingat sekali, obrolan pertama kita di sore yang gerimis. Di hujan pertama kita. Senyummu seolah menjadi perapian ditengah matirasanya aku.

Katamu, “aku jatuh cinta pada hujan”.

Aku tersenyum mendengarkanmu. Beruntung sekali kau, hujan. Kamu jatuh cinta pada hujan, sebab hujan meneduhkan. Seperti itulah seharusnya cinta. Meneduhkan. Bukan meletup-letup tanpa jeda, lalu menguap secepat kilat. Tanpa sisa. Ah, kamu ternyata filosofis juga. Aku bertambah kagum.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Senja Menjawab Cinta

Beberapa kali aku membolak balikkan tubuhku diatas kasur sambil memejamkan mata, tapi percuma. Masih saja tak kukenal kantuk sedikitpun. Jam digital yang terpajang apik diatas meja sudah menunjukkan pukul 03:45. Aku tahu, Senja yang telah menyita rasa kantukku. Benarkah? secepat itu? ini bisa saja terjadi. Senja? Ya, gadis yang baru kuajak kenalan di perpustakaan tadi siang. Gadis yang sebelumnya ku sebut anak sastra indonesia. Bagaimana tidak, sejak pertama kali aku melihat gadis itu, jelas-jelas ia sedang membaca buku-buku sastra. Ternyata aku salah, Senja adalah mahasiswi psikologi semester 2. Tapi mengapa ia membaca buku tentang sastra? Penelusuranku belum sampai sana.

Akhir Aku

aku tergolek di pulau kapuk tak berdaya menunggu maut ku beliakkan biji mataku menatap kiri-kanan kosong melompong diatas ku tengok israil melebarkan senyumnya makin dekat .. makin kuat .. makin menjerat .. hingga uratpun ikut terasa serayanya aku berdendang laa ilaa ha ilallah laa ilaa ha ilallah laa ilaa ha ilallah Aku dijemput