Skip to main content

Hai, Sandra

Hai, namaku Sandra. Ayahku seorang direktur sebuah peusahaan garment terkenal, sedangkan mama adalah seorang guru di sebuah SMA Negeri yang cukup favorit disini. Aku berumur 15 tahun. Aku punya seorang kakak laki laki, namanya Zakky. Dia sedang kuliah di Sidney, jurusan bisnis. Itu dipilihnya
agar dia bisa ngelanjutin usaha ayah.
Oke, cerita ini adalah tentang aku dan kehidupan ku. Sekarang aku baru lulus SMP. Dari TK aku sudah sekolah di sekolah swasta, maka aku meminta ke ayah untuk disekolahkan di SMA Negeri.

Tok..tok..tok..
aku mengetuk pintu ruang kerja ayah. 
"Iya, masuk." Jawab Ayah dari dalam
"Yah, ayah lagi sibuk nggak?" 
"Kenapa?" 
"Sandra mau ngomong penting." Jawabku serius.
"Mau ngomongin apa? kamu masih mau liburan? kan kamu baru aja abis liburan ketempat kakak kamu. lagian sekarang udah mau masuk sekolah, nak."
"Bukaaan, bukan itu. Sandra mau ngomongin soal sekolah Sandra."
"Ooh, kamu udah ayah daftarin ke sekolahannya temen ayah. Kamu gak usah ambil pusing soal itu" Jawab ayah enteng. 
"Yaah, padahal Sandra maunya sekolah di sekolah Negeri aja, yah." 
"Loh, kenapa?" Tanya Ayah kanget.
"nggak kenapa-napa, sih. Kan dari TK Sandra udah sekolah di sekolah Swasta. SMA ini Sandra mau sekolah di SMA Negeri, yah. temen temen Sandra juga banyak yang lanjut ke sekolah Negeri." Ujarku meyakinkan.
"Oke, nanti ayah cariin sekolah negeri yang bagus buat kamu." Ujar Ayah sambil tersenyum.
"Makasih, ayaah." sambil memeluk ayah.

Beberapa hari kemudian, saat kami sedang makan malam...
"Yah, gimana?"
"Apanya yang gimana?" tanya ayah heran.
"Sekolahan." Jawab gue penuh harap.
"Kok sekolahan? memangnya ada apa?" Tanya mama menimpali.
"Gini loh, ma. Sandra katanya mau sekolah di sekolah negeri. Tapi ayah kemarin nggak sempat untuk cari info tentang itu." Jelas ayah.
"Loh, bukannya ayah udah daftarin Sandra ke sekolahan temen ayah itu?"
"Iya, sih, tapi kan masih bisa dicabut. nggak apa apa lah."
"Yaudah, biar mama aja yang cariin kamu sekolahan. atau kamu mau sekolah di sekolahan mama?"
"Gamau ah." Jawabku segera protes.
"Ya udah. Nanti mama cariin yang paling bagus buat kamu."
***
"Sandra.." panggil mama yang melihatku lewat dari dapur.
"Iya, ma" Ujarku menjawab.
"Sini, mama mau ngomong." ajak mama.
Aku menghampiri mama, dan duduk disampingnya.
"ada apa, ma?" tanyaku serius.
"Gini, kemaren mama udah cari sekolah buat kamu, mama sih maunya kamu sekolah di SMA 88 aja. Disana kan juga ada Melly, sepupu kamu. Gimana?"
"Emm.., tapi ma.. Sandra juga kemaren kemaren udah nyari info, dan Sandra maunya ke SMA 17 aja. Sandra juga udah survey kesana sama pak Mur. hehe" Jelas gue dengan sedikit tertawa.
"Hmm..Besok mama cek dulu kesana, cocok atau enggak sama kamu."
"Gak usah, ma. nanti malah ngerepotin mama, lagi." Ujarku merayu.
"Eh, sejak kapan kamu bisa ngomong gini sama mama? biasanya kan apa-apa minta ke mama terus." Ujar mama menyindir.
"Sandra udah srek sama sekolah yang ini, maaa." aku terus merayu mama.
"Oke, kalo kamu udah cocok sih, mama hayu aja."
"Sip! mama yang baik." ujarku sambil menepuk lembut pipi mama lalu lari ke kamar.
Sampai di kamar, langsung kugapai ponselku yang tergeletak diam diatas meja, segera ku telpon nomor Ambar, teman yang ku kenal lewat twitter. Terdengar bunyi "tuuutt" selama beberapa detik. Kemudian terdengar suara yang menjawab diujung sana.
"Halo"
"Halo, Ambar, gue jadi sekolah di sekolah yang gue ceritain ke elu waktu itu." ujarku dengan girang.
"Selamat yaa, San" terdengar nada datar di kata kata itu.
"Kok, lu datar gitu, sih? Lu nggak seneng ya, gue sekolah disana?" tanyaku.
"Gue seneng kok lu bisa sekolah disana."
"Lu sendiri gimana?" Tanyaku.
"Gue..guee... gue sekolah di Manado, San."
pembicaraan itu berbuntut panjang hingga tak sadar telah sampai jam makan malam.


to be continued :D 

Comments

Popular posts from this blog

Sapardi Tak Mendegarku

"tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni" begitu kata Sapardi Sapardi tak tahu setabah apa diriku. berdiri diatas benang bergoyang. ditambah harus ikhlas ditinggalkan―olehmu Ia tak lihat seberapa hapir gilanya aku yang tiap hari menangis diatas peti-mu Sekalipun jasadmu tak menghuninya "dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu" Aku melakukan hal yang sama Kini rinduku menjadi pedang bagiku sendiri Mungkin sebentar lagi akan memenggal kepala tuannya "tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu" Sapardi, hujan bulan juni-ku tak seindah larik sajakmu Suram, seperti yang dikatakan orang-orang di hadapanku Menggerus senyum "tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu "  kalimatku hanya terpenjara di tenggorokan Aku hampir mati melumat kalimatmu, mungkin aku akan b...

Maaf: Balasan Untuk Dygta

Cerita Sebelumnya:  Pertanyaan Untuk Fa Kabarku baik, Dygta. Aku juga selalu berharap kau baik-baik saja. Tidak, sekarang aku kembali tinggal di Jogja. Waktu itu aku hanya berlibur disana. Maaf, Dygta. Aku tahu itu hal yang salah. Pergi diam-diam darimu. Sebenarnya juga berusaha pergi diam-diam dari hatimu. Maaf. Ada alasan yang sangat ingin kuberitahu padamu waktu itu. Kau terlalu sayang padaku. Kau sudah terlalu banyak berkorban untukku. Aku takut tak bisa membalas semua yang kau beri.

Akhir Aku

aku tergolek di pulau kapuk tak berdaya menunggu maut ku beliakkan biji mataku menatap kiri-kanan kosong melompong diatas ku tengok israil melebarkan senyumnya makin dekat .. makin kuat .. makin menjerat .. hingga uratpun ikut terasa serayanya aku berdendang laa ilaa ha ilallah laa ilaa ha ilallah laa ilaa ha ilallah Aku dijemput