Skip to main content

Sepinisme adalah Dewa Amor Kita


Dean menghempaskan tubuhnya pada bangku panjang di kantin sekolah. Tak seperti meja lain yang ramai, ia hanya seorang diri disana. Di seberang mejanya terdapat sekelompok anak laki-laki. Anak kelas 3. Ia tak sedikitpun hirau akan itu. Diantara anak laki-laki itu ada seseorang yang curi-curi pandang padanya. Sonic. Mantan ketua osis. Pria yang sudah lama 'mengincar' Dean. Ia tak pernah menyadarinya.
Bahkan ia tak pernah peka akan pandangan mata Sonic yang melulu kearah wajah manisnya. Dean tak tahu sama sekali. Sonic berlaku sebagai secret admirer yang hanya bernyali mengirim surat cinta lewat Rosy, teman sebangku Dean. *masih musim main surat suratan?* Sayangnya puisi-puisi gombalnya tak pernah mendapat balasan. Jelas, Rosy tak pernah menyampaikannya pada Dean. Cemburu. Itu alasan terakurat yang Rosy punya. Ia tak pernah rela membiarkan Sonic yang dulu ia kagumi (sampai sekarang) mendekati teman sebangkunya yang cuek itu. 
"samperin aja." Seorang teman Sonic angkat bicara setelah melihat pandangan mata temannya itu tak juga berpaling dari wajah adik kelasnya. 
Sonic masih saja betah dengan pemandangan indah yang berada didepan matanya. Tiba-tiba seorang temannya menyiku perutnya merusak lamunan yang sejak tadi berteman dengannya lalu memberi kode untuk menyambangi meja sepi itu. Sonic berniat mendekati meja itu. Beberapa kali ia menarik napas panjang sebelum beranjak dari bangkunya. Sesekali ia melihat Dean yang masih asik dengan earphone di telinganya. Sonic berdiri. Dean masih tak berkutik. Sonic meneruskan langkahnya. --- 
Gadis aries itu mengangkat wajahnya.
"gue boleh duduk?" tanya Sonic berusaha se-cool mungkin.
"iya,kak. Silahkan aja." Gadis itu tidak menyadari bahwa ia sedang 'didekati' oleh pria yang baru saja ia persilahkan duduk itu.
Pria itu mendadak kikuk berhadapan denan gadis pujaannya. Hal yang selama ini sulit dilakukannya. 
Mereka berdua sama-sama diam. Detak jantung Sonic berdebar 2kali lebih cepat. Tak tahu harus memulai pembicaran darimana.
Dean bingung dalam diamnya. Bertanya-tanya mengapa pria ini tiba-tiba menyambangi mejanya. 
"sendirian aja?" pria itu buka mulut. 
Pertanyaan itu terdengar samar-samar ditelinga Dean. Ia melepas earphonenya. 
"gue ganggu, ya?" tanya Sonic lagi. 
"enggak kok." Dean buru-buru menyangkal. 
"sorry, tadi kakak bilang apa, ya?" tanya Dean canggung.
"sendirian aja?" Sonic mengulang pertanyaannya. 
"menurut kakak?" Dean balik bertanya. 
"kelihatannya sih gitu." jawab Sonic. Gue boleh nemenin ga? Kalimat itu hanya terucap dalam hatinya. 
Sonic terus mencoba mencairkan suasana. Obrolan yang pertama kali terjadi diantara mereka itu berbuntut panjang. Setiap istirahat Sonic selalu menyempatkan duduk menemani Dean. Sambil terus memandang Dean yang berkicau, Sonic membatin, nggak selamanya sepi mengasikkan, Dean. Kamu butuh teman.
Semakin hari Sonic semakin yakin akan perasaannya terhadap gadis itu. Setiap malam ia berkutat dengan lembaran kertas dan pena menuliskan puisi untuk Dean. Semua perasaan yang sulit ia ungkapkan secara langsung ia tumpahkan dalam diksi-diksi cantik diatas kertas. Sayangnya Dean tak pernah membacanya, Dean tak pernah tahu perasaan Sonic yang ia anggap teman ngobrol pada saat istirahat. Sebenarnya jika ia bisa sedikit peka, ia akan mengerti apa alasan Rosy selalu menanyakan apa saja yang mereka bicarakan pada saat setiap istirahat. Sayangnya Dean terlalu acuh dengan kehadiran Sonic. Katanya, tidak ada alasan untuk gede rasa dengan menaruh harapan pada Sonic. Ia tak pernah menganggap semuanya serius. Walaupun hati kecilnya sudah terinveksi virus yang ditaburkan Sonic dihatinya. Ia bahkan tidak peka akan hal itu.
***
Ponsel Dean berdering. Pesan dari Rosy.
De, gue didepan.
Dean membuka pintu.
"kok nggak bilang mau kesini, Ros?" tanya Dean heran.
"gue ganggu, ya?"
"enggak kok." jawab Dean singkat.
"masuk yuk!" ajaknya.
"enggak usah, De. Gue nggak lama kok. Cuma mau ngasih ini. Titipan kak Sonic." Rosy memberi segepok amplop. Kumpulan surat dari Sonic yang tak pernah ia sampaikan.
"maaf, gue baru nyampein sekarang." sambungnya lagi.
"ini apa?" tanya Dean singkat.
"maaf De, gue harus pulang sekarang." Tanpa sempat menjelaskan, Rosy langsung berlalu dari hadapan Dean.
Dibacanya satu per satu surat itu. Sebagian ad yang sudah remuk. Ya, diremuk oleh Rosy. Ia memakluminya. Ia tahu tentang kedekatan Rosy dengan Sonic dulu. Ia pernah mendengar gosipnya. Sekarang ia mengerti mengapa Rosy begitu kepo dengan setiap obrolannya dengan Sonic. Kali ini ia tak dapat mengelak dengan kecemburuan di lubuk hatinya. Virus itu mulai bekerja.
Terukir senyum tipis di bibirnya saat membaca puisi-puisi Sonic. Tak ada salahnya virus itu ia bina. Pikirnya. Gadis ini mengambil ponselnya. Membuka kembali pesan-pesan yang beberapa hari lalu sempat ia acuhkan. Pesan itu dari Sonic. Puisinya sama. Ia mulai salah tingkah.
Lo nggak cukup ambisius untuk berjuang. Itu ditulis di akun twitternya. Berharap follower spesial itu membacanya. Kejadian malam itu sukses membuatnya insomnia. Beberapa kali ia membuka ponselnya. Hal yang tak biasa ia lakukan. Entah apa yang ia tunggu. Tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah pesan dari operator provider yang setia mengabarinya. Dean menyerah. Ia menarik selimut dan mencoba lelap. Gagal! Sonic masih melintas di benaknya.
"Oh Tuhan!! Ternyata jatuh cinta itu menyiksa." Gumamnya.
Ponselnya berdering lagi. Dengan lesu ia membuka pesan itu.
Anak cewe begadang nggak baik tau :p
Pesan dari Sonic.
Seperti mendapat durian runtuh. Ia senang tiada kepalang. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia ingin meloncat rasanya. Tapi ia berusaha untuk tetap cool *apa-apaan ini orang*
Dean sok-sok tidak tahu. Ini siapa? Balasnya.
Sonic, De. 
Oh, kak Sonic. Eh, thanks ya, puisi-puisinya. Gue suka deh.
Mereka berdua terjaga lebih lama lagi karena pesan itu.
Dean mulai mencoba membalas tepukan cinta Sonic. Semakin hari keduanya makin lengket. Sonic mulai berani menyambangi kelas Dean, mengajaknya kencan.
Kata gue-lo dari keduanya sekarang berubah menjadi aku-kamu yang mesra. Tak momen 'penembakan' diantara mereka. Semuanya berjalan begitu saja. Sepinisme yang dianut Dean yang mempertemukan mereka berdua. Bagaimana dengan Rosy? Dia sudah nyaman dengan Aras, si ketua kelas yang karismanya tak kalah menggoda dengan Sonic.
Dean, gadis cuek itu tak selamanya nyaman dengan sepinismenya. Sonic yang mengubah dunianya. Mengubah detak detik baris waktunya menjadi lebih ramai. Hatinya yang beku berhasil dilelehkan oleh bara api cinta Sonic yang menggebu-gebu. Begitu juga dengan Sonic. Kehadiran Dean mampu membuatnya tak berkutik. Ia tak pernah merasa senyaman ini dengan mereka yang sebelumnya pernah mengisi hatinya. Ia baru merasakan yang namanya perjuangan cinta yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. *jangan tanya kenapa*
"Jangan bikin aku nyesel dengan semua perubahan yang kamu bawa. Semua kebiasaan yang kamu ubah. Jangan buat aku menyesali cinta pertamaku." ujar Dean sambil menatap mata Sonic dalam-dalam.
"Aku nggak mungkin sia-siain apa yang lama aku perjuangkan." Jawab Sonic sambil membawa Dean dalam dekapannya.
Sonic memang bukan pria yang ambisius untuk berjuang. Kali ini Dewa Amor ingin melihat Dean yang berusaha. Maka Sonic sebagai jaminannya.

Comments

Popular posts from this blog

Sapardi Tak Mendegarku

"tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni" begitu kata Sapardi Sapardi tak tahu setabah apa diriku. berdiri diatas benang bergoyang. ditambah harus ikhlas ditinggalkan―olehmu Ia tak lihat seberapa hapir gilanya aku yang tiap hari menangis diatas peti-mu Sekalipun jasadmu tak menghuninya "dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu" Aku melakukan hal yang sama Kini rinduku menjadi pedang bagiku sendiri Mungkin sebentar lagi akan memenggal kepala tuannya "tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu" Sapardi, hujan bulan juni-ku tak seindah larik sajakmu Suram, seperti yang dikatakan orang-orang di hadapanku Menggerus senyum "tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu "  kalimatku hanya terpenjara di tenggorokan Aku hampir mati melumat kalimatmu, mungkin aku akan b...

Maaf: Balasan Untuk Dygta

Cerita Sebelumnya:  Pertanyaan Untuk Fa Kabarku baik, Dygta. Aku juga selalu berharap kau baik-baik saja. Tidak, sekarang aku kembali tinggal di Jogja. Waktu itu aku hanya berlibur disana. Maaf, Dygta. Aku tahu itu hal yang salah. Pergi diam-diam darimu. Sebenarnya juga berusaha pergi diam-diam dari hatimu. Maaf. Ada alasan yang sangat ingin kuberitahu padamu waktu itu. Kau terlalu sayang padaku. Kau sudah terlalu banyak berkorban untukku. Aku takut tak bisa membalas semua yang kau beri.

Akhir Aku

aku tergolek di pulau kapuk tak berdaya menunggu maut ku beliakkan biji mataku menatap kiri-kanan kosong melompong diatas ku tengok israil melebarkan senyumnya makin dekat .. makin kuat .. makin menjerat .. hingga uratpun ikut terasa serayanya aku berdendang laa ilaa ha ilallah laa ilaa ha ilallah laa ilaa ha ilallah Aku dijemput