Skip to main content

BU, AKU TIDAK PULANG

Bu, aku tidak pulang. Aku merindukan ibu, ayah dan semua anggota keluarga kita. Walaupun ditelpon setiap hari, ditanyakan kabarnya setiap jam, aku masih merasa semuanya tak cukup ampuh mengobati rinduku.
Tahun ini pertama kalinya. Pertama kalinya ramadhanku tanpa mencicipi masakan ibu. Walaupun aku masih ingat apa saja yang biasa ibu hidangkan saat sahur dan berbuka. Aku tak bisa lagi bermanja-manja meminta dibuatkan kue klepon untuk takjil. Aku pernah mencoba membuatnya disini, tetap saja buatan ibu yang paling enak. Biasanya di awal ramadhan kita selalu makan daging, aku hanya makan nasi tempe dan sepotong ayam disini, bu. Suasana sahurku juga tak ramai seperti dirumah dimana adik bungsu duduk diatas meja karena kursi kita tak cukup. Ramadhan ini ia bisa duduk di kursiku, bu. Disini aku tak bisa berebut lauk dengan ayah, ya seperti biasanya yang terjadi. Dan ibu selalu kesal melihatnya. Sekarang ibu tak kesal lagi, kan? :')

Oiya, disini aku berbuka setengah jam lebih cepat. Maaf, kesan berbuka bersama ibu menjadi tak terasa. Biasanya saat berbuka aku sering beradu cepat dengan ayah menuju tangga. Ayah selalu kalah. Beberapa tahun belakangan tubuhnya makin berat, badannya makin gemuk. Ia sudah tak kuat lagi berlari. Disini tak ada tangga, bu. Kalaupun ada, aku tak bisa beradu cepat seperti saat bersama ayah.
Bu, aku tidak pulang. Hingga tahun depan. Ibu sendiri yang menyuruhku lebaran disini. Di tempat sepupu jauhku. Pastinya itu tak senyaman berlebaran dirumah. Walaupun di desa, tapi kita lengkap. Aku, ibu, ayah, kakak, adik-adik semuanya ada.
Apakah nanti ada yang membangunkanku pada hari lebaran seperti yang rutin ibu lakukan pada kami saat hari lebaran. Aku tahu aku yang paling susah bangun. Lalu ibu mengusapkan tgan ibu yang basah sehabis wudhu ke mukaku. Aku selalu suka usapan itu, bu. Tahun ini usapan itu di skip dulu dari daftar "upacara" hari rayaku.
Aku selalu disuruh ibu mengantar mukenah ke masjid agar tak kehabisan tempat. Selalu aku. Sekarang aku baru sadar, itu sangat menyenangkan :')
Bu, maaf aku jarang menelpon ibu. Aku tak mau kuota rinduku makin menggunung. Perpisahan kita masih panjang. Aku takut suatu saat aku tak sanggup lagi memikulnya, lalu aku memaksa pulang dan membuat ibu sedih. Aku sudah sering melakukannya, bu. Aku sudah besar. Aku tak mau lagi melakukan hal itu. Aku sering menangis saat merindukan ibu. Aku tetap tak mau menelpon. Aku tak mau ibu mendengarku menangis. Aku tak mau ibu tahu bahwa anaknya ini cengeng. Itu sama sekali tak membuat ibu bangga. Tujuanku pergi adalah untuk membuat ibu dan ayah bangga. Doakan aku selalu ya, bu. Aku tahu doa yg ku panjatkan di setiap sholatku tak setimpal dengan semuanya. Tapi itulah usahaku, pergi dan selalu mendoakan ibu dan ayah dalam diam.
Aku sayang ibu, aku sayang ayah, aku tak mau buat kalian kecewa. Semua anak juga akan berkata begitu bagi orang tuanya. Aku tahu itu juga tak sebanding dengan rasa sayang ibu dan ayah yang meski dibagi bagi ke setiap anak anaknya tetap terasa begitu besar bagi mereka. Entahlah seberapa banyak stok cinta dan sayang yang ibu dan ayah miliki, mungkin tak akan pernah habis meskipun tak pernah diisi ulang.
Bu, aku ingin pulang. Tapi tidak sekarang. Aku belum dapat apa apa sebagai hadiah untuk ibu dan ayah. Aku sedang mencarinya :')

Comments

Popular posts from this blog

Sapardi Tak Mendegarku

"tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni" begitu kata Sapardi Sapardi tak tahu setabah apa diriku. berdiri diatas benang bergoyang. ditambah harus ikhlas ditinggalkan―olehmu Ia tak lihat seberapa hapir gilanya aku yang tiap hari menangis diatas peti-mu Sekalipun jasadmu tak menghuninya "dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu" Aku melakukan hal yang sama Kini rinduku menjadi pedang bagiku sendiri Mungkin sebentar lagi akan memenggal kepala tuannya "tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu" Sapardi, hujan bulan juni-ku tak seindah larik sajakmu Suram, seperti yang dikatakan orang-orang di hadapanku Menggerus senyum "tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu "  kalimatku hanya terpenjara di tenggorokan Aku hampir mati melumat kalimatmu, mungkin aku akan b...

Maaf: Balasan Untuk Dygta

Cerita Sebelumnya:  Pertanyaan Untuk Fa Kabarku baik, Dygta. Aku juga selalu berharap kau baik-baik saja. Tidak, sekarang aku kembali tinggal di Jogja. Waktu itu aku hanya berlibur disana. Maaf, Dygta. Aku tahu itu hal yang salah. Pergi diam-diam darimu. Sebenarnya juga berusaha pergi diam-diam dari hatimu. Maaf. Ada alasan yang sangat ingin kuberitahu padamu waktu itu. Kau terlalu sayang padaku. Kau sudah terlalu banyak berkorban untukku. Aku takut tak bisa membalas semua yang kau beri.

Akhir Aku

aku tergolek di pulau kapuk tak berdaya menunggu maut ku beliakkan biji mataku menatap kiri-kanan kosong melompong diatas ku tengok israil melebarkan senyumnya makin dekat .. makin kuat .. makin menjerat .. hingga uratpun ikut terasa serayanya aku berdendang laa ilaa ha ilallah laa ilaa ha ilallah laa ilaa ha ilallah Aku dijemput