Laras
Sudah
hampir satu bulan Jogja membuatku nyaman. Pohon-pohon angsana yang menaungi
jalan-jalannya juga masih begitu ramah. Setiap pagi aku menghampiri shelter di
dekat lapangan mandala krida, menunggu transjogja untuk berangkat ke jalan
sagan. Dari awal menapakkan kaki disini, aku merasa ada hal yg mengganjal.
Hingga hari ini kita tidak sengaja bertemu. Atau mungkin memang sengaja
dipertemukan.
Aku
sengaja mampir sebuah kafe di dekat sana. Sambil membaca buku. Buku yang baru
kubeli di gramedia beberapa waktu lalu. Aku belum banyak membacanya. Baru tiga
lembar di awal. Pramusaji mengantar segelas es lemon tea ke meja bundar di
sudut kafe. Aku bersiap dengan kacamata full frame yang memang kupakai ketika
membaca atau sedang belajar saja. Memiliki mata minus bukan keingianku.
Walaupun kadang banyak mata normal yang memakai atribut penghalang itu untuk
mendukung penampilannya. That’s not me.
Aku tidak suka hal-hal ribet. Seperti trend fashion, aku masih nyaman dengan
jeans, kaus, dan sepatu bebas ribet. Bahkan aku lebih suka memakai sandal jepit
swallow.
Langit
jogja masih sangat terang untuk dihabiskan di kamar kost yang sesak. Aku lebih
memilih menantang terang diluar daripada membaca di kamar. Yang ada malah jadi
mengantuk. Buku yang kubaca bukanlah buku tebal berisi hal-hal mengenai sains
atau sastra yang berat. Aku hanya membaca bacaan ringan seperti novel atau
kumpulan cerpen. Remaja.
Di
meja sebelah sudah 2 kali berganti penghuni, sedangkan aku masih mantap dengan
buku dan pensil yang sesekali bertemu dengan kertas buku itu. Aku tak peduli
lalu lalang kendaraan di jalan sana, juga pelanggan kafe yang masuk
silih-berganti. Aku cepat sekali tenggelam dalam bacaan. Dimana kamu menjelajah
dunia tanpa perlu beranjak kemana-mana. Menarik kan? Keren. Menurutku.
Tak
terasa sudah hampir setengah dari tebal buku aku telan bulat-bulat. Lalu
bayangan seseorang menghampiri mejaku.
“Laras?”
Aku
mendongak. Seorang lelaki tak terlalu tinggi, dengan kulit kecoklatan, berkumis
tipis menatapku. Ekspresinya seperti kaget. Begitu juga aku. Seperti shock therapy. Wajah yang tak asing
bagiku. Sangat kenal. Lama. Bahkan pernah dekat. Tama. Seketika nama itu tersebut dalam hati. Sepertinya ini mimpi.
“Hei.”
Ujarku gugup. Berusaha tersadar dari mimpi.
Ia
tersenyum heran. Sama sepertiku. “Kamu, kok−” Ia mengulurkan tangan
menyalamiku.
“Loh,
kamu ngapain disini?” Aku balik bertanya sambil menjabat tangannya yang menggantung.
Seketika darahku seperti berhenti megalir. Tangannya masih sama seperti dulu.
Selalu berkeringat.
Ini
benar-benar tak pernah aku bayangkan. Sedikitpun tak pernah terlintas
dibenakku. Bayangkan, kau bertemu dengan seseorang dari masa lalu saat kau
sedang berusaha keras melupakannya. Ibarat sudah susah payah memanjat tebing,
lalu tidak sengaja kau menginjak batu yang salah. Kau jatuh. Kembali dari
dasar. Apa kau masih bersemangat untuk memanjat lagi? Apa kau tidak kesal? Aku
sangat kesal. Tapi tak tahu harus melampiaskannya kemana. Hanya bisa menahan
sakit di dada dan mataku mulai panas. Untungnya kacamata ini membuat mataku
yang berkaca-kaca menjadi tak terlalu tampak. Aku mengerjapkan mata sebelum
tetesan itu benar-benar membasahi pipi.
Tidak
dengan orang yang kumaksud. Ia berlagak seperti tak pernah ada apa-apa diantara
kami. Dulu. Like a professional actor.
Alhasil aku lebih banyak diam, energiku untuk bicara kugunakan untuk menahan
perih di hati dan jantung yang kembali berdegup tanpa tempo jelas. Sembari
terus berharap ini hanya khayalan atau mimpi. Jangan jadi nyata ya Tuhan. Tapi aku benar-benar tak bias mengelak
lagi. Ini benar-benar terjadi. Dan jalan satu-satinya untuk menghindar adalah.
Menghadapinya.
Tama
Kau
pernah berada di sebuah ruangan yang gelap total, dimana didalamnya tak ada
siapa-siapa. Kemudian ada sesuatu yang menarik kakimu. Apa rasanya? Kaget
setengah mati? Seperti itulah yang aku rasakan saat melihat wajah perempuan
itu. Lagi. Setelah setahun lebih tak pernah bertatap muka.
Penampilannya
sudah berubah. Entah kapan perubahan itu ia lakukan. Yang pasti sekarang ia terlihat
lebih− cantik. Rambutnya yang biasa dikuncir ekor kuda, kali ini digelung keatas,
pipinya makin membulat, ditambah kacamata full frame hitam kecoklatan yang
membingkai matanya yang bening. Tapi ada satu yang tak berubah. Senyumnya.
Senyum teduhnya yang setahun belakangan hanya dapat kupandang dari foto-foto
avatar twitternya. Ya, aku sering stalking
akun twitter yang pernah menghiasi bio twitterku ini. Banyak tweet nomention yang kadang membuatku
merasa bersalah pernah mengabaikannya yang lalu memetik sekuntum rindu yang tak
tersampaikan.
“Lagi jalan-jalan aja sama mereka.” Aku menunjuk
meja di sisi lain kafe. Kak Citra mengangkat dagunya seperti bertanya. “Duluan
aja.” Jawabku lalu kembali menuntun fokus ke Laras. Aku lalu menarik kursi
didepanku untuk duduk di meja yang sama. “Apa kabar?” tanyaku masih penasaran.
Ia
melepas benda yang sedari tadi bertengger di pangkal hidungnya. “Baik. Kamu?”
jawabnya singkat. Ada gugup tersurat dari nada bicaranya. Mungkin aku terlalu
mengagetkan.
“Gini
deh.” Jawabku sambil mengangkat bahu. “Kamu kok bisa ada disini?”
“Aku
bimbel.”
Lagi-lagi
jawabannya singkat. Aku seperti kehilangan dia yang dulu. Dimana pertanyaanku
selalu dijawab main-main olehnya. Kemudian berujung dengan usapan tanganku yang
seperti mengacak-acak rambutnya. Aku tahu ia menyukai hal itu. Sekarang ia tak
hiperaktif seperti waktu itu. Entah apa alasannya. Aku tak bisa melakukan hal
yang sama seperti waktu itu. Tapi aku rindu.
Laras
Sial!
Ini benar benar nyata. Aku tak mengkhayal. Lelaki yang didepan mataku ini
benar-benar beliau.
“Mengapa kamu datang disaat seperti ini,
Tama? Salah sekali. Saat aku dan kamu sudah bukan lagi sebagai kita. Waktu dimana
aku sedang gencar-gencarnya berkonsentrasi mencari jalan yang lain untuk
melarikan diri. Jalan yang kamu beri dulu sekarang sudah buntu. Menahanku disana
bahkan meminta kembali ke tempat semula. Aku tak mau. Bagaimana mungkin aku
menunggu hal yang belum tentu kembali. Sepertimu. Aku lebih baik menemukan hal
baru yang mungkin bisa lebih menyenangkan. Why not?
Eman-eman.
Kamu malah menyapa saat aku mencoba
mencari objek lain untuk ditemui. Sedangkan kita sudah tidak bisa saling
menggenggam lagi. Aku tak akan lagi mendapat usapan manja di kepala. Ah,
lagi-lagi kamu membuatku menggalau. Sudah Tama, menghilang lagi! Aku tak mau
ini semakin panjang. Semakin menusuk nuraniku, menggoyahkan se-ma-ngatku untuk
lari semakin kencang.
Kali ini kamu mau memupuk rasa lagi? Sudah
berapa kali kamu melakukannya. Sialnya ia malah tumbuh subur. Beberapa waktu
(sudah lama) yang lalu, terus sama. Terus begitu. Kamu memintaku bertahan tanpa
pernah berjanji kapan waktu pastimu untuk kembali. Kamu tak mengerti sudah seberapa
hebatnya aku sekaligus seberapa bodohnya mau menunggu. Tapi yang ditunggu malah
mengulur waktu. Sakit ya.”
Comments
Post a Comment