Skip to main content

Bli ...,

Pagi ini aku bangun dengan rasa sesak yang parah di dada. Seperti terlalu banyak lemak dibalik baju sempit. Aku bangun dengan detak jantung yang entah seberapa cepatnya. Aku tak bermimpi apapun, yang pasti saat aku bangun yang terlintas adalah kamu, Bli. Jangan tanya alasan apapun padaku. Aku takkan bisa jawab.
Seharian ini pikiranku dihantui oleh apapun tentangmu. Semua memori yang dulu sempat mengendap dan padat, hari ini seakan perlahan menguap kembali. Mungkin ini rindu. Beginikah rasanya merindukanmu, Bli? Aku tak bisa langsung menyimpulkan sendiri. Aku ingin cerita dengan mbak Ratna, tapi ia sedang sibuk sekali. Ia dan EO miliknya sedang menyiapkan sebuah acara yang cukup besar. Aku tak tega menyita waktu istirahatnya.
Bli, jika benar ini adalah rasa rindu, maka aku harap hanya sebentar saja. Jangan terlalu lama. Menahannya satu hari saja setengah mati rasanya, apalagi berminggu-minggu seperti saat kita memutuskan untuk tidak lagi saling berharap ―dan memberi harapan antar satu sama lain. Kamu tahu? Saat itu aku berbulan-bulan berusaha untuk menghindari ingatan tentangmu, tentang kita lebih tepatnya.
Oh ya, kudengar sekarang kamu di Adelaide. Aku bahkan tak tahu sejak kapan kamu berada disana. Bukankah kamu pernah bilang, “Bali lebih indah dari manapun, Tara. Pada Bali-lah aku menghabiskan waktuku.” Aku tak pernah lupa kata-kata itu, Bli. Kamu mengucapkannya ketika kita duduk di sebuah bangku panjang di pelataran galeri Poyanmu. Ya, duduk berdua saja, berdekatan. Sehingga tak ada celah ditengah kita.
Sejak saat itu, aku ingin sekali dan terus berusaha menjadi sebaik-baiknya Bali untukmu dimanapun kamu berjejak; rumah keduamu; tempatmu untuk selalu pulang. Mengisi setiap detak-detik jarum waktu dalam debar jantungmu. Seluruh.
Sekarang kamu di tempat yang sama sekali jauh dari Bali ―dan “Bali”. Bagai mana disana? Semoga sama nyamannya.
Aku berharap banyak bisa berbincang denganmu hari ini. Seperti ada setumpuk cerita yang akan aku sampaikan. Ingin sekali kembali merasakan hal magis yang disulap rasa. Saat menggenggam tanganmu lewat sela-sela jari kurusmu. Aku paling suka melihat rabut gondrong di kepalamu itu dikuncir kecil. Air mukamu yang dingin menjadi lebih ramah dengan begitu. Bagiku.
Eh, mungkin akan makin sulit bagi kita untuk kembali seperti kemarin. Tapi setidaknya yang aku perlukan sekarang adalah pertemuan.
Baiklah, aku menyerah. Ini benar-benar rindu yang tiba-tiba datang meruntuhkan tembok tebal nan tinggi yang kubangun beberapa bulan lalu, mungkin sudah hampir setahun. Aku sempat menangis tadi. Kamu tahu sendiri, aku jarang sekali menangis kan, Bli. Sekalipun saat homesick ―kuharap kamu masih ingat itu. Entahlah anak macam apa aku ini, merindukan orangtuapun aku jarang. Atau lebih tepatnya aku tidak mengerti bagaimana rasanya merindu.  Tapi kali ini kamu mengajarkannya. Mengajarkanku merasakannya.
Bli, aku tak berharap lebih. Pahamilah kalimat-kalimat frontalku ini. Aku tak sefilosofis dirimu. Aku hanya penikmat kata, bukan peramu kata.

Dari Bali yang merindukanmu,

Dita Rania


Anggap saja ini bukan rindu yang kamu ajarkan.

Comments

Popular posts from this blog

Sapardi Tak Mendegarku

"tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni" begitu kata Sapardi Sapardi tak tahu setabah apa diriku. berdiri diatas benang bergoyang. ditambah harus ikhlas ditinggalkan―olehmu Ia tak lihat seberapa hapir gilanya aku yang tiap hari menangis diatas peti-mu Sekalipun jasadmu tak menghuninya "dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu" Aku melakukan hal yang sama Kini rinduku menjadi pedang bagiku sendiri Mungkin sebentar lagi akan memenggal kepala tuannya "tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu" Sapardi, hujan bulan juni-ku tak seindah larik sajakmu Suram, seperti yang dikatakan orang-orang di hadapanku Menggerus senyum "tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu "  kalimatku hanya terpenjara di tenggorokan Aku hampir mati melumat kalimatmu, mungkin aku akan b...

Maaf: Balasan Untuk Dygta

Cerita Sebelumnya:  Pertanyaan Untuk Fa Kabarku baik, Dygta. Aku juga selalu berharap kau baik-baik saja. Tidak, sekarang aku kembali tinggal di Jogja. Waktu itu aku hanya berlibur disana. Maaf, Dygta. Aku tahu itu hal yang salah. Pergi diam-diam darimu. Sebenarnya juga berusaha pergi diam-diam dari hatimu. Maaf. Ada alasan yang sangat ingin kuberitahu padamu waktu itu. Kau terlalu sayang padaku. Kau sudah terlalu banyak berkorban untukku. Aku takut tak bisa membalas semua yang kau beri.

Akhir Aku

aku tergolek di pulau kapuk tak berdaya menunggu maut ku beliakkan biji mataku menatap kiri-kanan kosong melompong diatas ku tengok israil melebarkan senyumnya makin dekat .. makin kuat .. makin menjerat .. hingga uratpun ikut terasa serayanya aku berdendang laa ilaa ha ilallah laa ilaa ha ilallah laa ilaa ha ilallah Aku dijemput