sambungan dari Hai, Sandra
Semua pendaftaran dan admisintrasi di SMA yang ku inginkan itu sudah beres, aku sudah resmi diterima disana. Hanya menunggu waktu MOS, yaitu minggu depan. aku mulai dagdigdug.
Semua pendaftaran dan admisintrasi di SMA yang ku inginkan itu sudah beres, aku sudah resmi diterima disana. Hanya menunggu waktu MOS, yaitu minggu depan. aku mulai dagdigdug.
Semua khayalan tentang dunia SMA
yang indah itu sudah berkecamuk dalam oktakku. membayangkan menjadi seorang
Sandra yang dewasa, punya banyak teman, hangout dengan siapa saja tanpa ada
perasaan khawatir seperti yang kurasakan sembilan tahun belakangan. sembilan
tahun yang *ehhem cukup menyedihkan dan tentunya membosankan. masa kecil yang
sangat serius, dengan kebahagiaan yang limit. Tidak seperti yang dilakukan
anak-anak seusiaku pada saat itu. pergi sekolah, aku diantar, ditunggu sampai
bel pulang sekolah, langsung pulang kerumah. coba kalian bayangkan, aktivitas
yang sama di setiap hari selama 9 tahun. bayangkan,
SEMBILAN TAHUN! Jika itu adalah tulisan di sebuah diary, ibaratnya aku akan menulis di diary baru dan memulainya dengan lembar baru. "Semoga ini awal yang baik" aku sangat berharap banyak pada perubahan ini. gumamku sambil menari-nari dikamar.
SEMBILAN TAHUN! Jika itu adalah tulisan di sebuah diary, ibaratnya aku akan menulis di diary baru dan memulainya dengan lembar baru. "Semoga ini awal yang baik" aku sangat berharap banyak pada perubahan ini. gumamku sambil menari-nari dikamar.
"Sandraaaaaa!!!!"
terdengar suara mama dari luar kamar.
buru-buru aku membuka pintu
"Iya,ma?" ujarku dengan kepala sedikit menyembul keluar pintu kamar.
"Kamu ngapain
di kamar? teriak teriak nggak jelas." ujar mama dengan muka kesal.
"Ngg... nggak
lagi ngapa-ngapain." ujarku sambil cengengesan
"Mama mau
kemana nih? rapi banget." sambungku melihat mama yang sudah berdandan cantik
dengan abaya merah yang dikenakannya saat itu.
"Mau arisan."
Jawab mama singkat.
"Sampe jam
berapa?" Tanyaku lagi.
"Nggak tau.
kayaknya cuma bentaran aja. kenapa? kamu mau ikut?"
"Ng..nggak!
Lama-lama juga nggak masalah kok, ma. hehe" jawabku kegirangan.
Mama tidak
menjawab. malah langsung pergi dengan Pak Samir. Supir yang sering mengantar mama
pergi kemana-mana.
mengetahui hal itu, aku sontak
makin bahagia. Diam-diam aku akan pergi kerumah Tami. Cuap-cuap tentang
semua kebahagiaan ini.
Suara mobil sudah
terdengar melaju melangkahi gerbang pagar rumah. aku segera siap-siap dan
memanggil pak Mur.
"Pak, sandra
mau pergi. anterin, ya." ujarku merayu pak Mur.
"Loh, non Sandra mau kemana? nanti nyonya
marah, non." jawab pak Mur khawatir.
"Nggak usah
takut, pak. pak Mur tinggal tutup mulut aja. kalo mama nanya aku kemana hari
ini, bilang aja aku dirumah. nggak kemana-mana. tolong ya, paaak. darurat
nih." kataku memelas.
"Aduuh non
..."
"Udah, pak
Mur anter Sandra, nanti urusan mama Sandra yang urus." sambil membuka
pintu mobil. Pak Mur segera duduk dibelakang kemudi dan menuruti perintahku.
Mobil sudah berlalu jalan kompleks.
"Non Sandra
mau saya antar kemana, non?" Tanya pak Mur sambil terus mengemudi dengan
santai.
"Oh, iya. Aku mau kerumah Tami. bapak
masih inget jalannya, kan?"
"Iya, non.
Masih inget."
Pak Mur melesat menuju rumah Tami.
Aku menekan bell
yang terpajang di samping pintu. Pak Mur masih menunggu di mobil memastikan aku
benar-benar bermain dirumah Tami.
"Siang tante.
" Sapaku saat tante Helena membuka pintu.
"Eh, Sandra.
Masuk sayang. Tami ada,kok. tante panggil dulu ya." jawab tante
Helena ramah.
Aku masuk dan
duduk di sofa, kudengar mobil sudah berlalu dari jalan komplek itu. Tami datang
dengan ramah.
"San, main di
belakang aja yuuk." Tami menarik tanganku mengikutinya. Di taman belakang
itu aku bercerita panjang lebar pada Tami. Tami tampak senang mendengar
ceritaku itu namun sesuatu tampak mengganggu pikiran sahabatku itu. Tiba-tiba
Tami mengungkapkan sesuatu yang mengejutka. tak pernah ia bahas sebelumnya. Ia
akan meneruskan sekolah di luar negeri. Tepatnya sebuah sekolah musik. Aku
cukup terdiam mendengarnya. Yang lebih membuatku terkejut adalah ia akan
berangkat besok siang. Sore itu menjadi hari yang sendu.
"Tapi, tam.
kalo gue kangen sama lo nanti gimana? kalo gue mau curhat? kalo gue mau main
sama lo, kalo gue pengen peluk lo, kalo gue-"
"Sandra, gue
juga kaget dengan ini semua. Gue baru tahu beberapa hari yang lalu, dan gue
nggak mungkin nolak permintaan papa untuk yang satu ini. Dari dulu papa mau
banget gue jadi pemusik, San. Lo tahu kan apa alasan gue setiap ikutan lomba
musik, alasannya cuma satu. Dan gue nggak perlu ngulangin kata-kata itu
sekarang."
Aku langsung
memeluk Tami dengan erat. Air mataku menetes di pundaknya.Tami mempererat
pelukannya.
Dekapan itu
merenggang. "Besok lo bisa nganter ke bandara kan, San?" tanya
Tami.
Aku menarik napas
panjang dan mengangguk "Pasti bisa." jawabku lirih.
Aku masih tak
habis pikir. Tami, sahabatku dari SD, sekarang akan pergi meninggalkan
sahabatnya ini sendirian.
***
Sudah pukul 10
pagi. Aku bersiap untuk kerumah Tami. Jadwal keberangkatannya pukul 2 siang
ini. Aku sengaja menemuinya lebih awal. Sebuah kado telah aku siapkan untuknya.
Pak Mur sudah siap
mengantarku kesana.
"Ma, aku
kerumah Tami, ya." pamitku ke mama yang sedang nyantai didepan tivi.
"Iya, sayang.
Hati-hati ya. Salam aja sama Tami." kata mama.
"Iyaaa.." Jawabku
sambil berlari menuju pintu.
Pak Mur
mengantarku menuju rumah Tami. Aku tak pernah membayangkan saat aku berada jauh
dari Tami. Seseorang sudah kuanggap kakak, tempatku mengeluh, tempatku
bersandar, orang yang banyak memberi ku nasihat ini-itu, bahkan aku merasa Tami
adalah part of me. Tapi
sekarang bagian itu akan pergi jauh. Dalam waktu lama. Aku hanya menyiapkan
mental agar kuat setelah ia tinggalkan nanti.
Rumah Tami makin
terlihat jelas. Pintu pagar rumahnya terbuka. Mobil Om Yudhi sudah siap di
depan garasi. Aku turun dan segera masuk ke rumah yang sebentar lagi akan sepi
dari riuh suara Tami. Tak lupa membawa kado yang telah ku siapkan dari semalam.
"Gue kira lo
nggak jadi kesini." Ujar Tami
"Mana mungkin gue nggak ikutan nganter elo." Sambil
menoyor kening Tami. "Eh, barang-barang udah lengkap semua?"
sambungku.
"Udah masuk
koper semua. Tinggal capcuss ke bandara."
"Sipp."
Ujarku santai sambil mengangkat jempol. Walaupun dalam hatiku berontak dan ingin
mencegahmu pergi.
“Eh, apaan tuh.” Tami melihat sebuah plastik menyembul dari
dalam tas yang kukenakan.
“Oiya. Nih!” Sambil memberi kado yang kupersiapkan tadi.
“Apaan nih?”
“Jangan dibuka sekarang! Nanti aja kalo lo udah nyampe
sana.” Pintaku.
Tami menghela napas pendek. “Iya deh.” Ia menyimpannya
kedalam koper tas.
Tami. Aku tak habis pikir bagaimana aku nanti tanpa
kehadiranmu. Bagaimana kamu tanpa aku disana. Adakah orang yang dapat
menggantikan aku? Kuharap tidak. Kita sahabat selamanya. J
to be continued
Comments
Post a Comment