Sambungan dari: Cinta Alon-Alon
“Halo.” Banyu
mengangkat telpon yang menghampiri ponselnya.
“Halo. Ini Banyu?” Seorang
pria bicara diujung sana.
“Iya, bener. Ini siapa,
ya?” Tanyanya.
“Ini gue, Martin.”
Jawab pria itu.
“Ooh, lo Tin. Udah di
Jakarta ya?” Tanya Banyu antusias. Ia sangat merindukan sahabatnya itu.
“Iya, gue udah 2 hari
disini. Malem ini cabut, yuk!”
“Boleh, boleh. Nanti lo
kerumah gue aja. Masih inget dong?”
Perbincangan itu
terputus. Martin ingin mendengar semua yang terjadi sepeninggalannya. Terutama
tentang July. Sejak berpisah, ia dan wanita itu lost contact. Benar-benar taka
da kabar yang ia dapat tentang July.
Pukul 19:45. Terdengar suara ketukan pintu dari luar.
Riana segera membuka pintu.
“Loh, Martin?” Riana
mengulurkan tangannya menyalami. Martin menyambut. “Masuk, masuk.”
Tak lama kemudian Banyu
menyambangi ruang tamu.
“Hey, bro!”
Lagi-lagi sapaan akrab
menyambut Martin. Keduanya berpelukan. Mereka berbincang, tertawa, nostalgia,
seketika Riana tak sengaja memberitahu Martin bahwa July sudah bersama pria
lain. Hal itu cukup membuatnya kaget.
“Siapa? Udah berapa
lama?” Tanya Martin. Wajahnya merah padam. Nada kecemburuan terdengar dalam
kata-kata dalam ucapannya.
Riana melirik kearah
Banyu.
“Iya, Tin. Namanya
Zidan, pengusaha muda gitu deh. Mereka udah deket cukup lama. Tapi pacarannya
baru sekitar dua bulanan.” Dengan berat Banyu harus mengungkapkan hal itu pada
Martin.
“Perawakannya gimana?
Nggak lebih ganteng dari gue, dong?” Martin makin penasaran. Disana emosi pria
ini makin membara.
Banyu dan Riana
menjelaskan semua yang mereka ketahui tentang hubungan Juy dengan Zidan.
Martin menunjukkan
kegalauannya. Padahal niatnya ingin meminta maaf dan ingin kembali menitipkan
cintanya di hati July. Tapi, cintanya sudah terlambat. Wanita yang ia cintai
dan sempat ia sakiti itu sudah keburu
luluh pada seorang Zidan yang tak ia kenal. Tapi ia pantang menyerah. Ia akan
tetap menemui July.
***
Martin menyeruout
secangkir kopi yang ada di hadapannya. Ia masih menikmati sisa-sisa rindunya pada
wanita itu, dan kecemburuannya pada pria yang disebutkan Banyu dan Riana.
Sesekali ia menarik napas panjang lalu memejamkan mata. Di setiap pejaman yang
ia lakukan, wajah itu selalu melengos dengan takberdosanya. Wajah yang selalu
membuat hatinya sejuk. Selintas kenangannya dengan sosok itu juga dengan
asyiknya berdansa diatas perih lukanya. Itu lamunan singkat yang ia lakukan
sebelum seorang wanita bertubuh kecil dengan rambut sebahu itu memasuki kedai.
Wanita itu tampak lelah. Wajah lelah yang sangat familiar baginya. Matanya
mengikuti setiap derap langkah wanita itu.
“July?”
ia sedikit membathin.
Wanita
itu menuju sebuah meja kosong yang tak jauh dari mejanya. Ia mencoba
menyadarkan diri dari lamunan. Tapi benar, itu benar-benar July. Ia tak mungkin
salah.
Martin
beranjak dari kursinya menghampiri meja yang di seberang sana.
“July?”
Wanita
itu mengangkat wajahnya. Martin? Kenapa
ia ada disini? Itu hanya terucap dalam hatinya yang seraya berdebar
kencang. Setelah sadar, ia buru-buru memalingkan wajah. Menyembunyikan wajah
gembira sekaligus kesal dan sesal dari hadapan pria yang masih sangat
dicintainya itu. Tak munafik, ia merindukan sosok itu.
Martin
duduk dihadapannya.
“Apa
kabar, cil?” Tanya Martin dengan panggilan yang dulu biasa ia pakai memanggil (mantan)
kekasihnya itu.
“Baik.”
Jawab ‘si Kecil’ Martin.
Martin
terdiam. Tak tahu harus bicara apa lagi. Respon July begitu lain. Jelas saja.
“Kebetulan
banget ya, kita ketemu disini.”
July
masih bungkam bersama perasaan yang menyiksanya beberapa tahun belakangan ini..
“Cil,
aku mau minta maaf soal yang dulu. Aku memang begok banget waktu itu. Aku nggak
sengaja ngelakuin itu.”
“Setelah
bertahun-tahun kamu pergi, sekarang kamu balik lagi. Kamu baru nyadar kalo itu
fatal banget? Kamu baru mau minta maaf? Kebangetan!” emosi ikut bermain dalam
ucapan itu.
“Bukan
gitu! Aku udah pernah nyoba jelasin semuanya ke kamu. Tapi dulu kamu nggak
pernah sedikitpun mau denger. Iya, kan?”
“Aku
salah. Kamu boleh benci aku. Tapi please,
maafin.” Martin terus memohon sambil menggenggam tangan July.
Aku nggak mungkin nggak maafin
kamu. Lebih dari maaf pun bisa aku kasih.
“Aku
udah maafin kok. Bahkan jauh sebelum kamu kepikiran buat minta maaf. Udah
cukup?” Mata July mulai merah. Ia melepaskan tanggannya dari genggaman tangan pria
itu.
“Aku belum percaya kamu maafin aku.”
“Terus?
Mau kamu apa?” matanya berkaca-kaca.
“Terima
aku lagi.”
“Semuanya
udah telat, Martin! Kamu kira tiga tahun waktu yang singkat? Butuh berapa lama
lagi buat aku untuk yakin sama kamu? Semuanya udah nggak mungkin!”
“Kenapa
nggak mungkin? Karena kamu udah punya pacar baru?”
“Kok
kamu jadi keras kepala gini, sih?” July mengalihkan topic. Secangkir kopi yang
sedari tadi tenang diatas meja terabaikan sudah.
July
masih tetap keukeuh tak mau menjawab
pertanyaan Maertin yang satu itu. Ia tak mungkin mejawan ‘iya’. Tak mungkin
mengkhianati Zidan pikirnya. Lidahnya juga tak cukup layak untik menjawab
‘tidak’. Hanya tak ingin munafik, dalam hatinya.
Martin
terus mendesak, July tak tahan lagi. Ia meninggalkan uang dan keluar dari
tempat itu. Martin tak mengejar. Ia tahu July sedikit shock bertemu dengannya saat itu.
Cinta itu tersirat, July. Aku telah
temukan jawabannya. Walaupun tak secara langsung darimu.
Bathin pria itu.
to be continued :)
Comments
Post a Comment