Skip to main content

Cinta Alon-Alon - II



Sambungan dari: Cinta Alon-Alon

“Halo.” Banyu mengangkat telpon yang menghampiri ponselnya.
“Halo. Ini Banyu?” Seorang pria bicara diujung sana.
“Iya, bener. Ini siapa, ya?” Tanyanya.
“Ini gue, Martin.” Jawab pria itu.
“Ooh, lo Tin. Udah di Jakarta ya?” Tanya Banyu antusias. Ia sangat merindukan sahabatnya itu.
“Iya, gue udah 2 hari disini. Malem ini cabut, yuk!”
“Boleh, boleh. Nanti lo kerumah gue aja. Masih inget dong?”
“Ya masih lah. Oke, ntar malem, ya.”
Perbincangan itu terputus. Martin ingin mendengar semua yang terjadi sepeninggalannya. Terutama tentang July. Sejak berpisah, ia dan wanita itu lost contact. Benar-benar taka da kabar yang ia dapat tentang July.
Pukul 19:45.  Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Riana segera membuka pintu.
“Loh, Martin?” Riana mengulurkan tangannya menyalami. Martin menyambut. “Masuk, masuk.”
Tak lama kemudian Banyu menyambangi ruang tamu.
“Hey, bro!”
Lagi-lagi sapaan akrab menyambut Martin. Keduanya berpelukan. Mereka berbincang, tertawa, nostalgia, seketika Riana tak sengaja memberitahu Martin bahwa July sudah bersama pria lain. Hal itu cukup membuatnya kaget.
“Siapa? Udah berapa lama?” Tanya Martin. Wajahnya merah padam. Nada kecemburuan terdengar dalam kata-kata dalam ucapannya.
Riana melirik kearah Banyu.
“Iya, Tin. Namanya Zidan, pengusaha muda gitu deh. Mereka udah deket cukup lama. Tapi pacarannya baru sekitar dua bulanan.” Dengan berat Banyu harus mengungkapkan hal itu pada Martin.
“Perawakannya gimana? Nggak lebih ganteng dari gue, dong?” Martin makin penasaran. Disana emosi pria ini makin membara.
Banyu dan Riana menjelaskan semua yang mereka ketahui tentang hubungan Juy dengan Zidan.
Martin menunjukkan kegalauannya. Padahal niatnya ingin meminta maaf dan ingin kembali menitipkan cintanya di hati July. Tapi, cintanya sudah terlambat. Wanita yang ia cintai dan sempat ia sakiti itu sudah keburu luluh pada seorang Zidan yang tak ia kenal. Tapi ia pantang menyerah. Ia akan tetap menemui July.
***
Martin menyeruout secangkir kopi yang ada di hadapannya. Ia masih menikmati sisa-sisa rindunya pada wanita itu, dan kecemburuannya pada pria yang disebutkan Banyu dan Riana. Sesekali ia menarik napas panjang lalu memejamkan mata. Di setiap pejaman yang ia lakukan, wajah itu selalu melengos dengan takberdosanya. Wajah yang selalu membuat hatinya sejuk. Selintas kenangannya dengan sosok itu juga dengan asyiknya berdansa diatas perih lukanya. Itu lamunan singkat yang ia lakukan sebelum seorang wanita bertubuh kecil dengan rambut sebahu itu memasuki kedai. Wanita itu tampak lelah. Wajah lelah yang sangat familiar baginya. Matanya mengikuti setiap derap langkah wanita itu.
“July?” ia sedikit membathin.
Wanita itu menuju sebuah meja kosong yang tak jauh dari mejanya. Ia mencoba menyadarkan diri dari lamunan. Tapi benar, itu benar-benar July. Ia tak mungkin salah.
Martin beranjak dari kursinya menghampiri meja yang di seberang sana.
“July?”
Wanita itu mengangkat wajahnya. Martin? Kenapa ia ada disini? Itu hanya terucap dalam hatinya yang seraya berdebar kencang. Setelah sadar, ia buru-buru memalingkan wajah. Menyembunyikan wajah gembira sekaligus kesal dan sesal dari hadapan pria yang masih sangat dicintainya itu. Tak munafik, ia merindukan sosok itu.
Martin duduk dihadapannya.
“Apa kabar, cil?” Tanya Martin dengan panggilan yang dulu biasa ia pakai memanggil (mantan) kekasihnya itu.
“Baik.” Jawab ‘si Kecil’ Martin.
Martin terdiam. Tak tahu harus bicara apa lagi. Respon July begitu lain. Jelas saja.
“Kebetulan banget ya, kita ketemu disini.”
July masih bungkam bersama perasaan yang menyiksanya beberapa tahun belakangan ini..
“Cil, aku mau minta maaf soal yang dulu. Aku memang begok banget waktu itu. Aku nggak sengaja ngelakuin itu.”
“Setelah bertahun-tahun kamu pergi, sekarang kamu balik lagi. Kamu baru nyadar kalo itu fatal banget? Kamu baru mau minta maaf? Kebangetan!” emosi ikut bermain dalam ucapan itu.
“Bukan gitu! Aku udah pernah nyoba jelasin semuanya ke kamu. Tapi dulu kamu nggak pernah sedikitpun mau denger. Iya, kan?”
“Aku salah. Kamu boleh benci aku. Tapi please, maafin.” Martin terus memohon sambil menggenggam tangan July.
Aku nggak mungkin nggak maafin kamu. Lebih dari maaf pun bisa aku kasih.
“Aku udah maafin kok. Bahkan jauh sebelum kamu kepikiran buat minta maaf. Udah cukup?” Mata July mulai merah. Ia melepaskan tanggannya dari genggaman tangan pria itu.
 “Aku belum percaya kamu maafin aku.”
“Terus? Mau kamu apa?” matanya berkaca-kaca.
“Terima aku lagi.”
“Semuanya udah telat, Martin! Kamu kira tiga tahun waktu yang singkat? Butuh berapa lama lagi buat aku untuk yakin sama kamu? Semuanya udah nggak mungkin!”
“Kenapa nggak mungkin? Karena kamu udah punya pacar baru?”
“Kok kamu jadi keras kepala gini, sih?” July mengalihkan topic. Secangkir kopi yang sedari tadi tenang diatas meja terabaikan sudah.
July masih tetap keukeuh tak mau menjawab pertanyaan Maertin yang satu itu. Ia tak mungkin mejawan ‘iya’. Tak mungkin mengkhianati Zidan pikirnya. Lidahnya juga tak cukup layak untik menjawab ‘tidak’. Hanya tak ingin munafik, dalam hatinya.
Martin terus mendesak, July tak tahan lagi. Ia meninggalkan uang dan keluar dari tempat itu. Martin tak mengejar. Ia tahu July sedikit shock bertemu dengannya saat itu.
Cinta itu tersirat, July. Aku telah temukan jawabannya. Walaupun tak secara langsung darimu. Bathin pria itu.


to be continued :)

Comments

Popular posts from this blog

Sapardi Tak Mendegarku

"tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni" begitu kata Sapardi Sapardi tak tahu setabah apa diriku. berdiri diatas benang bergoyang. ditambah harus ikhlas ditinggalkan―olehmu Ia tak lihat seberapa hapir gilanya aku yang tiap hari menangis diatas peti-mu Sekalipun jasadmu tak menghuninya "dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu" Aku melakukan hal yang sama Kini rinduku menjadi pedang bagiku sendiri Mungkin sebentar lagi akan memenggal kepala tuannya "tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu" Sapardi, hujan bulan juni-ku tak seindah larik sajakmu Suram, seperti yang dikatakan orang-orang di hadapanku Menggerus senyum "tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu "  kalimatku hanya terpenjara di tenggorokan Aku hampir mati melumat kalimatmu, mungkin aku akan b...

Maaf: Balasan Untuk Dygta

Cerita Sebelumnya:  Pertanyaan Untuk Fa Kabarku baik, Dygta. Aku juga selalu berharap kau baik-baik saja. Tidak, sekarang aku kembali tinggal di Jogja. Waktu itu aku hanya berlibur disana. Maaf, Dygta. Aku tahu itu hal yang salah. Pergi diam-diam darimu. Sebenarnya juga berusaha pergi diam-diam dari hatimu. Maaf. Ada alasan yang sangat ingin kuberitahu padamu waktu itu. Kau terlalu sayang padaku. Kau sudah terlalu banyak berkorban untukku. Aku takut tak bisa membalas semua yang kau beri.

Akhir Aku

aku tergolek di pulau kapuk tak berdaya menunggu maut ku beliakkan biji mataku menatap kiri-kanan kosong melompong diatas ku tengok israil melebarkan senyumnya makin dekat .. makin kuat .. makin menjerat .. hingga uratpun ikut terasa serayanya aku berdendang laa ilaa ha ilallah laa ilaa ha ilallah laa ilaa ha ilallah Aku dijemput