Skip to main content

Maaf: Balasan Untuk Dygta

Cerita Sebelumnya: Pertanyaan Untuk Fa

Kabarku baik, Dygta. Aku juga selalu berharap kau baik-baik saja. Tidak, sekarang aku kembali tinggal di Jogja. Waktu itu aku hanya berlibur disana.
Maaf, Dygta. Aku tahu itu hal yang salah. Pergi diam-diam darimu. Sebenarnya juga berusaha pergi diam-diam dari hatimu. Maaf. Ada alasan yang sangat ingin kuberitahu padamu waktu itu. Kau terlalu sayang padaku. Kau sudah terlalu banyak berkorban untukku. Aku takut tak bisa membalas semua yang kau beri.
Waktu itu aku berpikir ingin dijemput di tempat kelahiranku. Berat sekali memikulnya, Dy. Tapi aku pura-pura tak punya beban apapun. Entah sudah berapa ribu butir obat yang kutelan selama 2 tahun sebelumnya. Untuk melawan Hepatocellular carcinoma brengsek ini. Aku juga menjalani kemoterapi selama 2 bulan sebelum pergi ke Jogja. Rambutku direnggutnya. Tentu saja kau tak tahu, kerudungku menyembunyikannya. Setelah berada di Jogja, kakakku meninggal setelah melahirkan anak pertamanya. Ialah yang menyelamatkanku. Aku betul-betul paham bagaimana perasaanmu saat teleponmu kudiamkan. Lalu aku sengaja mengganti nomor ponselku. Agar kau tak terus-terusan menungguku kembali.
Saat kita di pantai itu, aku belum kepikiran untuk pergi. Justru aku yang memintamu untu tak pergi, karena aku memang tak ingin kehilanganmu. Sepulang dari sana, aku merasakan sakit yang hebat, seperti mau mati. Aku tak mau meninggalkanmu, Dygta. Caraku ini membuatmu bingung, ya? Abaikan. Mau bagaimanapun, kau harus temukan tempat lain untuk bersandar. Aku sudah tak bisa lagi menyediakan bahu untukmu. Aku telah menjadi penyangga orang lain. Aku sudah bukan lagi Rufa yang dulu. Bukan Rufa yang selalu buatmu khawatir ketika wajahku pucat, juga bukan Fa yang selalu ingin ditelepon dan ditunggui hingga terlelap. Aku sadar sekarang, tingkahku sangat kekanakan. Aku malu padamu yang selalu sabar menghadapi anak kecil sepertiku. Aku tahu kau menyayangiku.
Sekarang aku akan jelaskan laki-laki yang dilihat Kak Andra bersamaku waktu itu. Namanya Galih. Ia sudah kukenal sejak sebelum mengenalmu. Ia teman kecilku. Waktu aku kembali ke Jogja, saat operasi cangkok hati yang kujalani, ialah yang terus menemani dan menyemangatiku. Aku belajar menjadi dewasa darinya. Aku tak mau terus berada dalam buaian nada manjamu. Galihlah yang sekarang menempati singgasana di hatiku. Kau dan dia sama baiknya. Ia juga sangat menyayangiku dan terus berusaha melindungiku.
Dygta Aji Nugraha, sungguh aku tak berniat melupakanmu. Aku hanya merasa menemukan aku yang seharusnya saat bersama Galih. Bukan berarti aku tak dapat itu saat bersamamu. Aku hanya merasa lebih baik sekarang.
Jangan diam statis disana, Dygta. Aku tak mau merasa bersalah untuk kedua kalinya.
Begini saja. Jika kau bertahan demi aku, maka demi aku juga, carilah yang lebih baik dari ku. Yang tak terus-terusan buatmu khawatir. Yang dapat meyakinkanmu bahwa tak akan diam-diam meninggalkan singgasananya di hatimu. Yang membuatmu lebih merasa menjadi dirimu saat bersamanya.
Berjalanlah, Dygta. Cari taman lain. Masih banyak hal indah yang belum kau temui.

Yang pasti merindukanmu,

                                                                                                      
                                                                                                          FA

Comments

Popular posts from this blog

Cara Senja Menjawab Cinta

Beberapa kali aku membolak balikkan tubuhku diatas kasur sambil memejamkan mata, tapi percuma. Masih saja tak kukenal kantuk sedikitpun. Jam digital yang terpajang apik diatas meja sudah menunjukkan pukul 03:45. Aku tahu, Senja yang telah menyita rasa kantukku. Benarkah? secepat itu? ini bisa saja terjadi. Senja? Ya, gadis yang baru kuajak kenalan di perpustakaan tadi siang. Gadis yang sebelumnya ku sebut anak sastra indonesia. Bagaimana tidak, sejak pertama kali aku melihat gadis itu, jelas-jelas ia sedang membaca buku-buku sastra. Ternyata aku salah, Senja adalah mahasiswi psikologi semester 2. Tapi mengapa ia membaca buku tentang sastra? Penelusuranku belum sampai sana.

Akhir Aku

aku tergolek di pulau kapuk tak berdaya menunggu maut ku beliakkan biji mataku menatap kiri-kanan kosong melompong diatas ku tengok israil melebarkan senyumnya makin dekat .. makin kuat .. makin menjerat .. hingga uratpun ikut terasa serayanya aku berdendang laa ilaa ha ilallah laa ilaa ha ilallah laa ilaa ha ilallah Aku dijemput