Kabarku
baik, Dygta. Aku juga selalu berharap kau baik-baik saja. Tidak, sekarang aku
kembali tinggal di Jogja. Waktu itu aku hanya berlibur disana.
Maaf,
Dygta. Aku tahu itu hal yang salah. Pergi diam-diam darimu. Sebenarnya juga
berusaha pergi diam-diam dari hatimu. Maaf. Ada alasan yang sangat ingin
kuberitahu padamu waktu itu. Kau terlalu sayang padaku. Kau sudah terlalu
banyak berkorban untukku. Aku takut tak bisa membalas semua yang kau beri.
Waktu itu aku berpikir ingin dijemput di tempat kelahiranku. Berat sekali memikulnya, Dy. Tapi aku pura-pura tak punya beban apapun. Entah sudah berapa ribu butir obat yang kutelan selama 2 tahun sebelumnya. Untuk melawan Hepatocellular carcinoma brengsek ini. Aku juga menjalani kemoterapi selama 2 bulan sebelum pergi ke Jogja. Rambutku direnggutnya. Tentu saja kau tak tahu, kerudungku menyembunyikannya. Setelah berada di Jogja, kakakku meninggal setelah melahirkan anak pertamanya. Ialah yang menyelamatkanku. Aku betul-betul paham bagaimana perasaanmu saat teleponmu kudiamkan. Lalu aku sengaja mengganti nomor ponselku. Agar kau tak terus-terusan menungguku kembali.
Waktu itu aku berpikir ingin dijemput di tempat kelahiranku. Berat sekali memikulnya, Dy. Tapi aku pura-pura tak punya beban apapun. Entah sudah berapa ribu butir obat yang kutelan selama 2 tahun sebelumnya. Untuk melawan Hepatocellular carcinoma brengsek ini. Aku juga menjalani kemoterapi selama 2 bulan sebelum pergi ke Jogja. Rambutku direnggutnya. Tentu saja kau tak tahu, kerudungku menyembunyikannya. Setelah berada di Jogja, kakakku meninggal setelah melahirkan anak pertamanya. Ialah yang menyelamatkanku. Aku betul-betul paham bagaimana perasaanmu saat teleponmu kudiamkan. Lalu aku sengaja mengganti nomor ponselku. Agar kau tak terus-terusan menungguku kembali.
Saat
kita di pantai itu, aku belum kepikiran untuk pergi. Justru aku yang memintamu
untu tak pergi, karena aku memang tak ingin kehilanganmu. Sepulang dari sana, aku merasakan sakit yang hebat, seperti mau
mati. Aku tak mau meninggalkanmu, Dygta. Caraku ini membuatmu bingung, ya? Abaikan. Mau
bagaimanapun, kau harus temukan tempat lain untuk bersandar. Aku sudah tak bisa
lagi menyediakan bahu untukmu. Aku telah menjadi penyangga orang lain. Aku sudah
bukan lagi Rufa yang dulu. Bukan Rufa yang selalu buatmu khawatir ketika
wajahku pucat, juga bukan Fa yang selalu ingin ditelepon dan ditunggui hingga
terlelap. Aku sadar sekarang, tingkahku sangat kekanakan. Aku malu padamu yang
selalu sabar menghadapi anak kecil sepertiku. Aku tahu kau menyayangiku.
Sekarang
aku akan jelaskan laki-laki yang dilihat Kak Andra bersamaku waktu itu. Namanya
Galih. Ia sudah kukenal sejak sebelum mengenalmu. Ia teman kecilku. Waktu aku
kembali ke Jogja, saat operasi cangkok hati yang kujalani, ialah yang terus
menemani dan menyemangatiku. Aku belajar menjadi dewasa darinya. Aku tak mau terus
berada dalam buaian nada manjamu. Galihlah yang sekarang menempati singgasana di
hatiku. Kau dan dia sama baiknya. Ia juga sangat menyayangiku dan terus
berusaha melindungiku.
Dygta
Aji Nugraha, sungguh aku tak berniat melupakanmu. Aku hanya merasa menemukan
aku yang seharusnya saat bersama Galih. Bukan berarti aku tak dapat itu saat
bersamamu. Aku hanya merasa lebih baik sekarang.
Jangan
diam statis disana, Dygta. Aku tak mau merasa bersalah untuk kedua kalinya.
Begini
saja. Jika kau bertahan demi aku, maka demi aku juga, carilah yang lebih baik
dari ku. Yang tak terus-terusan buatmu khawatir. Yang dapat meyakinkanmu bahwa
tak akan diam-diam meninggalkan singgasananya di hatimu. Yang membuatmu lebih
merasa menjadi dirimu saat bersamanya.
Berjalanlah,
Dygta. Cari taman lain. Masih banyak hal indah yang belum kau temui.
Yang pasti merindukanmu,
FA
Comments
Post a Comment